SUDAH


SUDAH


Sas berdiri menghadap ke depan dengan langit yang mulai gelap. Diikuti dengan awan-awan mengembang dan cahaya matahari yang memudar.

Nan: Mungkin bukan sekarang.

Sas: (diam)

Nan: Makasih ya, Sas.

Sas: Untuk apa?

Nan: Karena kamu sudah mau menerima semuanya.

Sas: Kata siapa aku menerima?

Nan: Jawabanmu tadi. Itu jawaban "Ya" untuk semua, kan?

Sas: Menurutmu, mungkin iya. Menurutku, jawaban itu hanya untuk satu pertanyaan. 

Nan: Pertanyaan bahwa...

Sas: Bahwa aku senang bertemu kamu saat ini. Hanya pertanyaan itu yang kujawab.

Nan: Lalu, kamu mau kita bagaimana? Ingin lebih? Ingin kita pacaran? Ingin apa, Sas?

Sas: Percuma, Nan. Kalau pun aku ingin lebih, kalau pun aku pacaran sama kamu, aku justru akan merasa sakit. 

Nan: (menghela napas)

Sas: Karena jauh di dalam sana, perasaan kamu buat aku cuma kosong. Aku selalu yang cari topik bicara, aku yang selalu menghubungi, aku yang selalu berusaha buat kamu jatuh hati sama aku, tapi hasilnya nihil, Nan! Dan dari awal kita kenal sampai sekarang, tempat buatku sama sekali nggak ada. Makasih, Nan.

Nan: (menatapku kebingungan)

Sas: Karena adanya kamu, aku jadi tahu kalau sejauh apapun aku berusaha, itu nggak akan mengubah perasaanmu jadi sama sepertiku.

Nan hanya bisa menatap punggung Sas yang mulai pergi dengan perasaan tak keruan. Ia bahkan belum sempat menjawab apapun pada Sas.

Nan: Setelah melihatmu hari ini, tempat untukmu perlahan mulai ada. Tetapi, aku adalah seorang pengecut yang hanya pandai membisu di depanmu, soal perasaanku.




*hanya konten fiksi

Comments

Popular posts from this blog

Blog Competition : VoSpace

Pemimpin Bangsa, Harapan Untuk Indonesia

SI PEMILIK SENYUM