LIMA BULAN

 LIMA BULAN



Lima bulan berselang, Nan mengajak Sas kembali untuk berbicara. Kali ini soal permohonan maaf yang lebih dalam dari kemarin, dari lima bulan yang lalu sejak mereka berdua hanya sekadar menatap dari kejauhan. Soal permohonan maaf atas kejadian lampau yang tak rampung dan masih rumpang.

Nan: Lima bulan, Sas. Kita akhirnya bertemu di sini. Lima bulan aku bertahan mencari cara supaya kamu mau bicara lagi sama aku. Lima bulan juga aku mencari cara supaya kamu dan aku kembali seperti dulu.

Sas: Dulunya kita itu memang seperti ini, Nan. Kita nggak saling mengenal, nggak saling berbicara. Yang kamu harapkan itu dulu yang kapan? 

Nan: Setelah itu. Setelah kita nggak saling mengenal, akhirnya menjadi saling mengenal. "Dulu" itu yang aku mau.

Sas: Kamu seharusnya nggak perlu repot-repot, Nan. Sejak penolakan itu aku bahkan langsung sadar diri. Sadar diri bahwa kamu pun juga dekat dengan perempuan-perempuan yang jauh lebih cantik, berkepribadian baik, dan ilmunya tinggi. Nggak hanya satu, tapi tiga sekaligus. 

Nan: Oh.. jadi kamu tetap memperhatikanku diam-diam selama lima bulan ini? (Nan tersenyum) Lagi pula, aku bahkan nggak pernah mengucapkan kata-kata penolakan ke kamu. Itu kamu yang menyimpulkan sendiri.

Sas: Sekarang kamu jadi yang nggak sadar diri. 

Nan: Sas...

Sas: Lima bulan, Nan. Kamu nggak ngerti sama sekali atau memang pura-pura nggak ngerti? 

Nan: Apanya yang aku nggak ngerti? Aku ngerti makanya aku sekarang ngajak kamu ketemu di sini. Aku mencoba ngerti selama lima bulan ini. 

Sas: Ya udah, apa? 

Nan terdiam. Dengan membelakangi Sas sekarang, ia menghela napas panjang. Ia takut bahwa jawabannya tidak benar-benar bisa memuaskan Sas. 

Nan: Aku memang pengecut, Sas. Lima bulan ini aku pelan-pelan membuka hati. Hari itu, aku benar-benar kacau. Aku takut mengungkapkan yang sebenarnya. Aku takut bahwa aku nggak siap dengan semuanya. Tapi, aku sekarang tahu, Sas, bahwa ada seseorang yang memberi cintanya besar ke aku. Menerima kekuranganku padahal kekuranganku jelas di depan mata dia. Tapi dia sama sekali nggak peduli akan hal itu. Aku mencoba memperhatikan dia selama lima bulan ini. Ternyata benar, Sas, dia bersikap lembut dan baik bukan hanya padaku saja, tapi ke setiap orang di sekitarnya.

Sas hanya diam terkaku mendengar ucapan panjang Nan. Bahkan ini pertama kalinya bagi Sas mendengar kalimat seserius itu dari Nan. Mata Nan pun terus menatap Sas.
 
Nan: Jadi, Sas, selama lima bulan ini aku sadar bahwa jadi pengecut bisa membuat aku kehilangan seseorang yang berarti di hidup aku. Sekarang aku bukan lagi pengecut itu. Aku berani mengutarakan semua di depan orangnya langsung. Tanpa berpindah pandangan sekali pun.




*hanya konten fiksi

Comments

Popular posts from this blog

Blog Competition : VoSpace

Pemimpin Bangsa, Harapan Untuk Indonesia

SI PEMILIK SENYUM